Disgrafia adalah kesulitan khusus dimana anak-anak tidak bisa menuliskan atau mengekspresikan pikirannya kedalam bentuk tulisan, karena mereka tidak bisa menyuruh atau menyusun kata dengan baik dan mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan) untuk menulis. Pada anak-anak, umumnya kesulitan ini terjadi pada saat anak mulai belajar menulis. Kesulitan ini tidak tergantung kemampuan lainnya. Seseorang bisa sangat fasih dalam berbicara dan keterampilan motorik lainnya, tapi mempunyai kesulitan menulis. Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD.
Kesulitan dalam menulis seringkali juga
disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak
yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali
mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke
dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan. Sebagai langkah awal
dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan
tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau
belajar.
Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya
perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses
visual motoriknya. Dysgraphia / Disgrafia adalah learning disorder dengan ciri
perifernya berupa ketidakmampuan menulis, terlepas dari kemampuan anak dalam
membaca maupun tingkat intelegensianya.Disgrafia diidentifikasi sebagai
keterampilan menulis yang secara terus-menerus berada di bawah ekspektasi jika
dibandingkan usia anak dan tingkat intelegensianya.
II.
Penyebab
Disgrafia
Secara spesifik penyebab disgrafia tidak
diketahui secara pasti, namun apabila disgrafia terjadi secara tiba-tiba pada
anak maupun orang yang telah dewasa maka diduga disgrafia disebabkan oleh
trauma kepala entah karena kecelakaan, penyakit, dan seterusnya. Disamping itu
para ahli juga menemukan bahwa anak dengan gejala disgrafia terkadang mempunyai
anggota keluarga yang memiliki gejala serupa. Demikian ada kemungkinan faktor
herediter ikut berperan dalam disgrafia.
Seperti halnya disleksia, disgrafia juga
disebabkan faktor neurologis, yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan
yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesuitan
dalam harmonisasi secara otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai
gerakan otot menulis huruf dan angka. Kesulitan ini tak terkait dengan masalah
kemampuan intelektual, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar.
III.
Karakteristik
Disgrafia
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf
dalam tulisannya.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan
huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya
tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat
mengomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil
dengan mantap, caranya memegang alat
tulis sering kali terlalu dekat, bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang
menulis, atau malah terlalu memerhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak
mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya
diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
IV.
Rekomendasi
Pendampingan Disgrafia
Teori konstruksi sosial Vygotsky
(Santroks:2004) memiliki tiga asumsi, yaitu:
1. Kemampuan kognitif anak dapat dipahami
hanya ketika mereka mampu menganalisa dan menginterpretasikan sesuatu;
2. Kemampuan kognitif anak dimediasi oleh
penggunaan bahasa atau kata-kata sebagai alat untuk mentransformasi dan memfasilitasi
aktivitas mental;
3. Kemampuan kognitif berkaitan dengan
hubungan sosial dan latar belakang sosial budaya.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut,
Vygotsky mengemukakan tiga konsep belajar sebagai berikut.
1. Zone of Proximal Development (ZPD), yaitu
suatu wilayah (range) antara level terendah, yaitu kemampuan yang dapat diraih
anak jika tanpa bimbingan, hingga level tertinggi, yaitu kemampuan yang dapat
diraih anak jika dengan bimbingan.
2. Scaffolding, yaitu teknik untuk mengubah
tingkat dukungan.
3. Language and thought.
Aplikasi teori Vygotsky dapat digunakan
guru dan orang tua untuk membantu anak yang mengalami disgrafia.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan
meliputi:
1. Mengidentifikasi masalah disgrafia,
terdiri dari:
a. masalah penggunaan huruf kapital,
b. ketidakkonsistenan bentuk huruf,
c. alur yang tidak stabil (tulisan naik
turun), dan
d. ukuran dan bentuk huruf tidak konsisten.
2. Menentukan ZPD pada masing-masing masalah
tersebut.
a. ZPD untuk kesalahan penggunaan huruf
kapital.
b. ZPD untuk ketidakkonsistenan bentuk huruf.
c. ZPD untuk ketidakkonsistenan ukuran huruf.
d. ZPD untuk ketidakstabilan alur tulisan.
3. Merancang program pelatihan dengan teknik
scaffolding. Teknik scaffolding dalam pelatihan ini meliputi tahapan sebagai
berikut.
a. Memberikan tugas menulis kalimat yang
didiktekan orang tua/guru.
b. Bersama-sama dengan siswa mengidentifikasi
kesalahan tulisan mereka.
c. Menjelaskan mengenai pelatihan dan ZPD
masing-masing permasalahan.
d. Menjelaskan kriteria penulisan yang benar
dan meminta anak menyatakan kembali kriteria tersebut.
e. Memberikan latihan menulis dengan orang
tua/guru memberikan bantuan.
f. Mengevaluasi hasil pekerjaan siswa
bersama-sama dengan anak.
g. Memberikan latihan menulis dengan
mengurangi bantuan terbatas pada kesalahan yang banyak dilakukan anak.
h. Mengevaluasi hasil pekerjaan bersama-sama
dengan anak.
i. Memberikan latihan menulis tanpa bantuan
orang tua/guru.
j. Mengevaluasi pekerjaan anak.
Pelatihan tersebut diulang-ulang pada
tiap-tiap kesalahan disgrafia yang dialami anak hingga terdapat perubahan.
V.
Probabilitas
Disgrafia
Sebuah
penelitian di Amerika melaporkan, kasus kesulitan belajar yang terkait
ketidakmampuan menulis (disgrafia) lebih banyak ditemui pada anak laki-laki.
Berkebalikan dengan kesulitan membaca seperti disleksia yang telah banyak
diteliti, penelitian tentang kesulitan menulis masih sangat minim, sehingga
angka kasusnya juga tidak jelas. Pada penelitian terbaru yang melibatkan lebih
dari 5700 anak, diketahui bahwa sekitar 7-15 persen dari jumlah tersebut
mengalami gangguan baca-tulis semasa duduk di bangku sekolah. Persentase ini
bervariasi, tergantung kriteria yang dipakai untuk mendiagnosis masalah ini.
Anak laki-laki kecenderungannya 2-3 kali lebih berisiko terdiagnosis
ketidakmampuan membaca dibanding anak wanita, apa pun jenis kriteria diagnosis
yang dipakai.
DAFTAR PUSTAKA
Delphie, B. (2006). Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (dalam Settin
Pendidikan Inklusi). Bandung:PT. Refika Aditama
Hernowo. "Mengimpikan Buku Pelajaran yang Mampu, Menyenangkan dan
Menyalakan Otak". Disampaikan pada Seminar "Menggagas Buku Pelajaran
yang Mencerdaskan", 15 Agustus 2006, Penyelenggara Direktorat Pendidikan
Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama, Jakarta.
Soedijarto. "Mana Lebih Penting, Pendidikan Dasar atau Lanjutan?"
Tabloid Nakita No. 266/VI/8 Mei 2004.
"Penilaian Perkembangan Anak Didik di TK". Dalam Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan Disdik Prop. Banten Edisi keempat TH.III Vol.IV/2003.
http://klinikautisindonesia.wordpress.com/2012/11/03/penanganan-terkini-gangguan-belajar-disgrafia-gangguan-menulis-pada-anak/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar